Senin, 22 Februari 2010

Belajar Hidup Dewasa

Menuju Kedewasaan
Tuhan yang Mahabaik memberi kita ikan,
tetapi kita harus mengail untuk mendapatkannya.
Demikian juga Jika kita terus menunggu waktu yang tepat,
mungkin kita tidak akan pernah mulai.
Mulailah sekarang...
mulailah di mana kita berada sekarang dengan apa adanya.
Jangan pernah pikirkan kenapa kita memilih seseorang untuk dicintai,
tapi sadarilah bahwa cintalah yang memilih kita untuk mencintainya.
Menikahi wanita atau pria karena kecantikannya atau ketampanannya
sama seperti membeli rumah karena lapisan catnya.
Harta milik yang paling berharga bagi seorang pria di dunia ini adalah ..
hati seorang wanita.
Begitu juga Persahabatan, persahabatan adalah 1 jiwa dalam 2 raga
Persahabatan sejati layaknya kesehatan,
nilainya baru kita sadari setelah kita kehilanganNya.
Seorang sahabat adalah yang dapat mendengarkan lagu didalam hatiMu
dan akan menyanyikan kembali tatkala kau lupa akan bait-baitnya.
Sahabat adalah tangan Tuhan untuk menjaga Kita.
Rasa hormat tidak selalu membawa kepada persahabatan,
tapi Jangan pernah menyesal untuk bertemu dengan orang lain...
tapi menyesal-lah jika orang itu menyesal bertemu dengan kamu.
Bertemanlah dengan orang yang suka membela kebenaran.
Dialah hiasan dikala kamu senang dan perisai diwaktu kamu susah.
Namun kamu tidak akan pernah memiliki seorang teman,
jika kamu mengharapkan seseorang tanpa kesalahan.
Karena semua manusia itu baik kalau kamu bisa melihat kebaikannya
dan menyenangkan kalau kamu bisa melihat keunikannya
tapi semua manusia itu akan buruk dan membosankan
kalau kita tidak bisa melihat keduanya.
Begitu juga Kebijakan, Kebijakan itu seperti cairan,
kegunaannya terletak pada penerapan yang benar,
orang pintar bisa gagal karena ia memikirkan terlalu banyak hal,
sedangkan orang bodoh sering kali berhasil dengan melakukan tindakan tepat.
Dan Kebijakan sejati tidak datang dari pikiran kita saja,
tetapi juga berdasarkan pada perasaan dan fakta.
Tak seorang pun sempurna.
Mereka yang mau belajar dari kesalahan adalah bijak.
Menyedihkan melihat orang berkeras bahwa mereka benar meskipun terbukti
salah.
Apa yang berada di belakang kita dan apa yang berada di depan kita
adalah perkara kecil berbanding dengan apa yang berada di dalam kita.
Kita tak bisa mengubah masa lalu....
tetapi dapat menghancurkan masa kini dengan mengkhawatirkan masa depan.
Bila Kita mengisi hati ...
dengan penyesalan untuk masa lalu dan kekhawatiran untuk masa depan,
Kita tak memiliki hari ini untuk kita syukuri.
Jika kita berpikir tentang hari kemarin tanpa rasa penyesalan
dan hari esok tanpa rasa takut,
berarti kita sudah berada dijalan yang benar menuju sukses.

Namun, bukan berarti untuk jadi dewasa kita harus berbuat dosa. No..no..no.. Itu artinya salah presepsi.

Disini maksudnya, ketika kita mampu menghikmahi setiap dosa maupun kesalahan yang kita lakukan, disaat itulah kita sedang belajar menjadi dewasa. Sedang belajar memaknai setiap tindakan yang kita lakukan.

Seorang dikatakan dewasa, ketika ia mampu mengendalikan tindakannya. Sudah mampu membedakan mana yang harus dan mana yang tidak boleh ia kerjakan. Terpenting, seorang yang mengaku sudah dewasa, harus mampu mempertanggungjawabkan lisan dan perbuatannya.

Yang biasanya terjadi adalah, perubahan perasaan, dari yang biasanya bergantung pada orang tua itu biasa dan merasa itu adalah hak, berubah menjadi perasaan gak enak karena kok masih bergantung sama orang tua. Selain itu, menjadi dewasa bisa juga berarti perubahan dari yang wajib menjadi yang hak. Misal, yang dulunya kita wajib mendengarkan dan mengikuti semua masukan dari orang tua atau orang lain yang lebih tua, menjadi hak kita yang boleh menerima semua masukan tapi tidak perlu mengikuti masukan itu dan boleh mengambil keputusan dengan pertimbangan pribadi.

Allah Ta’ala berfirman, “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa’: 114)

Kadang kita terlalu yakin akan pengetahuan diri. Merasa paling benar dalam segala tindakan. Serta menyangka diri telah menguasai banyak hal. Akibatnya, seolah apa yang disampaikan orang lain sama sekali tidak dapat mengubah kesalahan yang mungkin kita lakoni. Padahal, yang namanya manusia itu sangat rentan jatuh dalam kesalahan. Yah, namanya juga manusia.

Malah tak jarang kita balik melempar kritik terhadap nasehat itu sehingga pada batas merendahkan pribadi orang yang memberi nasehat. Bukan lagi isi nasehat yang direnungkan, tapi pemberi nasehat yang pertama dilihat (baca: kritik). Kapan ia sesuai dengan standar kriteria kita, maka nasehat itu mendapat perhatian khusus. Namun jika tidak, melirik pun rasanya percuma.

Olehnya, kalimat “ia masih bau kencur dalam dakwah” atau “orang baru yang tidak mengetahui apa-apa tentang manhaj” tidak jarang terlontar dan mampir ditelinga kita. Tidak hanya dari lisan mereka yang terlalu percaya diri, namun juga berasal dari orang yang sebenarnya masih awam dalam ilmu dien ini. Dan bukannya malah berterima kasih terhadap nasehat yang secara ikhlas dipersembahkan demi maslahat di dunia dan akhirat.

Keadaan kita ini persis seperti orang yang mendapat kabar bahwa ada sesuatu yang hendak membahayakan dirinya, akan tetapi justru dia balik mencela dan menyerang sang pemberi peringatan, dan tidak menyiapkan diri menghadapi bahaya tersebut. Siapapun kita, selama masih sanggup menggunakan rasio yang sehat tentu mengingkari hal tersebut.

Ketahuilah, segala bentuk nasehat yang dipersembahkan dengan penuh keikhlasan, pada hakekatnya bukan kehinaan yang sengaja dilontarkan seseorang kepada saudaranya. Bahkan ia merupakan bukti kedalaman rasa cinta serta wujud akan pengamalan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari-Muslim).

Ya, rasanya cinta yang membuat dirinya tidak tega menyaksikan saudaranya terus bergelimang dalam kekeliruan. Dan kiranya tidak ada sesuatu yang paling mulia dipersembahkan seseorang kepada saudaranya melebihi nasehat yang baik. Mencegah mereka dari kerusakan agama dan harga diri, serta berupaya agar saudaranya turut selamat dari azab dan hukuman Allah Ta’ala. Kendati harus dipahami, nasehat itu kadang terasa pahit dan menyesakkan. Ibarat minum jamu, rasanya getir dan memuakkan, akan tetapi sangat bermanfaat di kemudian hari.

Makanya, diantara kesalahan terbesar yang banyak menjerumuskan kita adalah terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan dari nasehat yang diketengahkan oleh saudara muslim. Seolah nasehat itu sesuatu yang menelanjangi harga diri kita atau merobohkan kehormatan. Padahal, yang namanya nasehat, paling tidak ia merupakan pengingat bagi diri. Jangan sampai kita terlalu larut dalam sesuatu yang kita anggap sudah baik dan benar. Atau, sebagai rambu supaya kita segera mengerem sedikit kecepatan agar jangan sampai “bablas” dan masuk jurang.

Yang lebih mengerikan, jika perbuatan ini menyeret kita pada sikap menolak kebenaran. Dan ini merupakan satu indikasi dari sifat sombong yang sangat tercela. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa, “Sombong itu menolak kebenaran dan menghina manusia (orang lain).” (HR. Muslim).

Duh, sungguh ini merupakan penyakit yang amat berbahaya. Ketergelinciran yang sangat fatal karena akibat dari perbuatan tersebut adalah “Tidak masuk surga seseorang yang dalam hatinya terdapat sifat sombong walau sebesar dzarrah.”

Belajarlah dari sahabat Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu. Kala dibacakan padanya hadits riwayat Abu Hurairah akan keadaan tiga orang yang pertama dihisab pada hari kiamat, beliau lantas menangis tersedu-sedu. Pilu sekali. Lalu jatuh pingsan tak sadarkan diri. Demikian pula Khalifah Harun Ar-Rasyid saat mendapat teguran seorang ulama, Abdullah Al-Umari, “Ingatlah selalu, setiap dari mereka itu (sambil menunjuk ribuan jama’ah haji) kelak akan ditanya tentang pribadi mereka sendiri di akhirat. Namun, engkau bakal ditanya tentang setiap orang yang berada dibawah kekuasaanmu. Pikirkanlah, bagaimana nasib dirimu kelak!” Ia kemudian menangis sejadi-jadinya, meratap hingga orang-orang disekelilingnya merasa iba.

Perhatikan kedua manusia mulia ini. Posisinya sebagai pemimpin kaum muslimin saat itu tidak menghalangi mereka untuk menerima nasehat kebenaran. Padahal saat itu mereka di atas puncak ketenaran. Pengikut yang berlimpah dan setia, akan tetapi mereka masih saja rindu dengan petuah dan nasehat dari orang-orang yang ikhlas menyodorkan pada mereka. Beda halnya dengan keadaan kita saat ini. Kadang nasehat kita sikapi sebagai bentuk penelanjangan yang memalukan, menghancurkan wibawa, atau menghilangkan pengaruh didepan pengikut.

Sebenarnya apa yang harus kita banggakan di dunia ini, sehingga terlalu begitu percaya diri menolak nasehat dari orang lain. Jika yang kita banggakan adalah ilmu, sungguh telah banyak ulama pendahulu kita yang jauh lebih hebat ilmunya daripada segelintir ilmu kita. Jika ibadah kita andalkan, maka ketahuilah telah banyak manusia yang lebih khusyu’ dan melimpah ibadahnya dibanding kita yang lemah ini.

Olehnya, sikapilah nasehat dari sesama saudara muslim dengan bijak. Dan jika harus dijawab, maka jawablah dengan cara yang bijak dan hikmah. Mendudukkan persoalan pada tempatnya, serta menjawab sesuai dengan porsinya. Tidak lebih dari itu. Bukan dengan sikap emosi yang meledak-ledak. Apalagi sampai harus menggelar ceramah umum untuk “balik” menasehati atau membuat “nasehat tandingan”. Atau, mungkin kita meng-hajr (memboikot) orang yang memberi nasehat serta melampiaskan ketersinggungan kepada orang yang tidak salah tersebut. Sungguh merupakan suatu kedzaliman yang menyakitkan.

Jangan sampai kita menjadi orang-orang yang binasa lantaran terpedaya dengan banyaknya kebajikan dan terlalu percaya pada kemampuan diri sendiri. Seperti anak muda yang dangkal ilmunya, namun tertipu dengan banyaknya ibadah yang telah dikerjakan.

Karenanya, sisakan sedikit ruang untuk nasehat di dalam qalbu. Biarkan ia bersemayam disana, walaupun mungkin saat ini kita masih sulit untuk menerimanya. Bisa saja ia menjadi pengingat dikemudian hari bahwa masih ada dari saudara kita yang peduli terhadap diri kita. Masih ada cinta yang tegak di atas landasan iman




Selanjutnya - Belajar Hidup Dewasa

Selasa, 16 Februari 2010

Nasihat Hidup

"Aku mencintaimu kerana agama yang ada padamu, jika kau hilangkan agama dalam dirimu, hilanglah cintaku padamu."(Imam Nawawi)


"Ya Allah... Tunjukkan kepada kami yang benar dan jadikan pilihan kami mengikuti yang benar itu. Dan juga tunjukkan kepada kami yang tidak benar dan permudahkan kami meninggalkannya."

Kata Saidina Umar Al-Khattab r.a

* Orang yang banyak ketawa itu kurang wibawanya.

* Orang yang suka menghina orang lain, dia juga akan dihina.

* Orang yang menyintai akhirat, dunia pasti menyertainya.

* Barangsiapa menjaga kehormatan orang lain, pasti kehormatan dirinya akan terjaga.


Barangsiapa menginginkan teman, cukuplah Allah menjadi temannya.

Barangsiapa menginginkan kekayaan, cukuplah qana’ah menyertainya.

Barangsiapa menginginkan nasihat, cukuplah kematian menasihatinya.

Barangsiapa menginginkan harta simpanan, cukuplah Al-Quran menjadi barang simpanannya.

Barangsiapa yang tidak cukup dengan keempat-empat hal ini, cukuplah neraka baginya.


Al Imam Abu Dawud meriwayatkan dari sahabat yang mulia Al ‘Irbadh bin Sariyah radliallahu anhu, bahwa ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menasihatkan kepada kami dengan satu nasihat yang menggetarkan hati-hati kami dan air mata pun berlinang karenanya. Maka ketika itu kami mengatakan: “Duhai Rasulullah, nasihat ini seperti nasihat orang yang mau mengucapkan selamat tinggal, karena itu berilah wasiat kepada kami.” Beliau pun bersabda:

Ku wasiatkan kepada kalian bertakwa kepada Allah, untuk mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian itu seorang budak. Dan barangsiapa di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Karena itu wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnahnya Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Pegang erat-erat sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hati kalian dari perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru ( bid‘ah) itu sesat.” (HR. Abu Dawud no. 3991)

‘Ammar bin Yasir radliallahu anhu pernah menyampaikan khutbah dengan ringkas dan dipenuhi dengan kata-kata yang tepat, ibarat yang indah dan menancap di hati. Seusai khutbah, ada seseorang yang menegurnya. Maka ‘Ammar pun menanggapi dengan jawaban yang tepat: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan ringkasnya khutbahnya merupakan tanda kefaqihannya. Karena itu panjangkanlah shalat dan ringkaskanlah khutbah. Sesungguhnya di antara penyampaian dan ucapan ada yang membuat orang tersihir.” (HR. Muslim no. 869)


Kandungan Hadits

Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi-Nya :

Berilah nasihat kepada mereka dan katakanlah kepada mereka ucapan yang bisa dipahami, mengena dan menancap di jiwa-jiwa mereka.” (An Nisa’: 63)

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memiliki sifat selalu memberikan bimbingan kepada jalan yang lurus terhadap siapa saja dari kalangan umatnya, sehingga ketika para sahabatnya meminta agar beliau memberikan nasihat maka beliau pun memenuhinya diiringi dengan hikmah.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika menyampaikan nasihat senantiasa memilih kata-kata yang tepat, lafadz yang indah, mengena di hati dan menancap dengan dalam. Beliau tidak menyampaikan nasihat dengan kalimat yang panjang lagi bertele-tele, namun cukup dengan kalimat yang ringkas namun mencakup dan dimengerti. Karena itulah beliau dikenal oleh para sahabatnya sebagai orang yang memiliki jawami`ul kalim (perkataan yang ringkas namun padat). Sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

Aku diutus dengan jawami‘ul kalim.” (HR. Al Bukhari no. 2977 dan Muslim no. 523)

‘Ammar bin Yasir radliallahu anhu pernah menyampaikan khutbah dengan ringkas dan dipenuhi dengan kata-kata yang tepat, ibarat yang indah dan menancap di hati. Seusai khutbah, ada seseorang yang menegurnya. Maka ‘Ammar pun menanggapi dengan jawaban yang tepat: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan ringkasnya khutbahnya merupakan tanda kefaqihannya. Karena itu panjangkanlah shalat dan ringkaskanlah khutbah. Sesungguhnya di antara penyampaian dan ucapan ada yang membuat orang tersihir.” (HR. Muslim no. 869)

Nasihat yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika itu sangatlah menancap di hati para sahabatnya hingga hati mereka bergetar dan air mata mereka pun berlinang karenanya. Inilah sifat kaum mukminin tatkala mendengar nasihat dari Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya:

Hanyalah yang dikatakan orang-orang beriman itu adalah mereka yang ketika disebut nama Allah bergetar hati-hati mereka.” (Al Anfal: 2)

Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul, engkau akan melihat mereka berlinangan air mata karena apa yang mereka ketahui dari kebenaran.” (Al Maidah: 83)

Demikianlah nasihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang seolah-olah beliau akan pergi meninggalkan mereka dengan memberikan nasihat perpisahan. Sebagaimana yang telah diketahui, orang yang akan pergi jauh tidak akan meninggalkan sesuatu yang penting kecuali disampaikan dan dipesankannya. (Tuhfatul Ahwadzi, 7/366, ‘Aunul Ma`bud, 12/234).

Setelah mendengar nasihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, para sahabat pun khawatir mereka tidak akan bertemu lagi dengan Rasulullah setelahnya, sehingga untuk menyempurnakan nasihat yang ada, mereka meminta wasiat beliau, seraya berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini nasihat orang yang akan berpisah, karena itu berilah wasiat kepada kami.” Beliau pun memberikan wasiat, di antaranya:

Wasiat untuk Takwa kepada Allah

Berkata ahlul ilmi, takwa merupakan pokok kebaikan dan inti dari segala perkara. Seluruh seruan kepada pintu kebaikan maupun larangan kepada kejelekan terkumpul dalam kalimat takwa ini.

Takwa ini pula merupakan wasiat Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada orang-orang terdahulu maupun yang belakangan, sebagaimana dalam firman-Nya:

“Sungguh Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang diberikan Al Kitab sebelummu dan juga kepada kalian agar bertakwa kepada Allah.” (An Nisa: 131)

Kita diperintah oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk berbekal dengannya sebagaimana firman-Nya:

Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal..” (Al Baqarah: 197)

Oleh karena itu terkumpul dalam takwa ini kebaikan dunia dan akhirat.

Wasiat untuk Mendengar dan Taat

Yang dimaksud dengan mendengar dan taat oleh beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di sini adalah kepada para pemimpin kaum muslimin, karena taat kepada mereka akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Dimana dengan mentaati mereka akan baiklah kehidupan orang-orang yang dipimpin (rakyat) dan menjadi amanlah negeri, di samping juga dapat membantu menegakkan agama mereka.

Hal ini merupakan kewajiban agama karena Allah telah berfirman:

Taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasulullah dan kepada pemimpin di antara kalian.” (An Nisa’: 59)

Kewajiban mendengar dan taat ini tetap berlaku bahkan ketika yang menjadi pemimpin itu seorang budak sekalipun. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah berpesan: “Tetaplah kalian mendengar dan taat sekalipun yang memimpin kalian itu seorang budak Habasyah (Ethopia) yang rambutnya seperti kismis.” (HR. Al Bukhari dari Anas bin Malik no. 7142 dan Muslim dari Abu Dzarr no. 648)

Al Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah menyatakan bahwa sebagian ulama berkata: “Seorang budak tidak bisa menjadi pemimpin, akan tetapi penyebutan pemimpin dari kalangan budak dalam hadits ini hanyalah sekedar permisalan walaupun tidak mungkin terjadi, sama halnya dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Siapa yang membangun masjid untuk Allah walaupun besarnya hanya seperti sarang burung maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga.” Dan telah diketahui bahwa ukuran sarang burung tidak mungkin dapat digunakan oleh manusia sebagai masjid, akan tetapi di sini hanya didatangkan sebagai permisalan.”

Dimungkinkan pula di sini Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ingin mengabarkan rusaknya perkara apabila diserahkan urusan kepada selain ahlinya, sampai akhirnya kepemimpinan diserahkan kepada seorang budak (yang dia bukan ahlinya). Sehingga andaikan permisalan yang disebutkan itu terjadi, tetaplah kalian mendengar dan taat (dalam rangka menolak kemudharatan yang lebih besar walaupun) terpaksa menempuh kemudharatan yang lebih ringan di antara dua kemudharatan yang ada, dengan bersabar atas kepemimpinan seseorang yang sebenarnya tidak boleh menjadi pemimpin. Yang mana apabila membangkang kepadanya akan mengantarkan kepada fitnah yang besar.” (Syarhul Arba’in An Nawawiyyah, hal. 75)

Tentunya ketaatan kepada pemimpin itu sebatas dalam perkara yang ma‘ruf (kebaikan), tanpa melanggar hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Ketaatan itu hanyalah dalam perkara kebaikan.” (HR. Al Bukhari no. 4340 dan Muslim no. 1840)

Wasiat untuk Berpegang Teguh dengan Sunnah

Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengatakan: “Siapa di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Karena itu wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnahnya Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigit/pegang erat-erat sunnah itu dengan gigi geraham kalian.”

Ini merupakan salah satu tanda di antara tanda-tanda kenabian beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, di mana beliau mengabarkan kepada para sahabatnya tentang perkara yang akan datang sepeninggalnya, yakni akan terjadi perselisihan yang banyak di kalangan umat beliau. Hal ini sesuai dengan pengabaran beliau bahwasanya umat ini akan berpecah belah menjadi 70 lebih golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu yang selamat yaitu mereka yang berpegang dengan apa yang dipegangi oleh Rasulullah dan para sahabatnya. (Shahih Sunan At Tirmidzi, no.2129)

Karena itulah, sebagai bahtera penyelamat dari gelombang perselisihan dan perpecahan ini adalah berpegang teguh dengan sunnah beliau dan para Al Khulafa’ Ar Rasyidin. Saking kuatnya keharusan berpegang tersebut hingga diibaratkan seperti menggigit dengan geraham (Jami’ul ‘Ulum, 2/126). Ditambahkan oleh Syaikhul Islam bahwa dikhususkannya penyebutan geraham dalam hadits ini karena gigitan gigi geraham ini sangat kokoh. (Majmu` Fatawa, 22/225).

Kata Al Imam As Sindi: “Hal ini menunjukkan keharusan untuk bersabar terhadap kepayahan yang menimpanya di jalan Allah, sebagaimana yang harus dihadapi orang yang sakit terhadap derita yang menimpanya dari sakitnya.” (Syarah Ibnu Majah, Al Imam As Sindi).

Adapun sunnah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini adalah jalan hidup beliau yang lurus dan jelas. (Syarhul Arba’in, hal. 75).

Selain mengikuti Sunnah beliau, diperintahkan pula setelahnya untuk memegangi sunnahnya Al Khulafa’ Ar Rasyidin dan mereka yang dimaksud di sini adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radliyallahu ‘anhum, kata Ibnu Daqiqil `Ied. Para khalifah ini disifatkan dengan (Ar Rasyidin) karena mereka mengetahui, mengenali kebenaran dan memutuskan dengannya. Mereka adalah (Al Mahdiyyin) karena Allah telah memberi petunjuk mereka kepada kebenaran dan tidak menyesatkan mereka dari kebenaran tersebut. (Syarhul Arba’in, hal. 75, Jami`ul ‘Ulum, 1/127)

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menggandengkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan Sunnah beliau karena para khalifah ini tatkala menetapkan sunnah bisa jadi mengikuti Sunnah Nabi itu sendiri, dan bisa pula mereka mengikuti apa yang mereka pahami dari Sunnah Nabi secara global dan rinci, yang mana perkara tersebut tersembunyi bagi yang lainnya. (Al I’tisham, 1/118)

Al Imam Asy Syaukani dalam Al Fathur Rabbani mengatakan: “Sunnah adalah jalan yang ditempuh, sehingga seakan-akan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ‘Tempuhlah jalanku dan jalannya Al Khulafa’ Ar Rasyidin’. Jalannya Al Khulafa’ Ar Rasyidin di sini sama dengan jalannya Rasulullah karena mereka merupakan orang yang paling bersemangat dalam berpegang dengan Sunnah beliau dan mengamalkannya dalam segala perkara. Bagaimana pun keadaannya, mereka sangatlah berhati-hati dan menjaga diri agar tidak sampai jatuh ke dalam perkara yang menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sekalipun dalam perkara yang terbilang kecil, terlebih lagi dalam perkara yang besar.”

Beliau kemudian melanjutkan: “Minimal dari faidah hadits ini adalah ra`yu (pendapat) yang bersumber dari mereka adalah lebih utama dari pendapat orang selain mereka, sekalipun ternyata setelah ditinjau kembali hal itu merupakan Sunnah Rasulullah, dan juga lebih baik daripada tidak ada dalil.” (Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 7/367)

Wasiat untuk Berhati-hati dari Bid‘ah

Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:“Hati-hati kalian dari perkara-perkara baru”, merupakan peringatan kepada umat beliau dari perkara baru yang diada-adakan lalu disandarkan kepada agama sementara perkara tersebut tidak ada asalnya sama sekali di dalam syariat ini. Dan beliau tekankan lagi peringatan beliau ini dengan sabdanya: “ karena setiap bid`ah itu sesat”.

Adapun ucapan para ulama yang menganggap baik sebagian bid‘ah maka kembalinya hal tersebut kepada pengertian bid‘ah secara bahasa bukan bid‘ah menurut syariat. Seperti perkataan Umar radliallahu anhu ketika melihat kaum muslimin shalat tarawih berjamaah dipimpin seorang imam, ia berucap: “Sebaik-baik bid‘ah adalah perbuatan ini.”

Shalat tarawih berjamaah ini bukanlah bid‘ah dalam pengertian syar‘i karena perbuatan ini telah ada asalnya dalam syariat, di mana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah melakukannya bersama para sahabat selama beberapa malam dari malam-malam Ramadhan. Adapun Umar hanya menghidupkannya kembali setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak melanjutkan pelaksanaannya karena khawatir perkara tersebut akan diwajibkan kepada umat beliau, sementara mungkin ada di antara mereka yang tidak mampu melaksanakannya.

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS.Ali Imran, Ayat 185)

“Barang¬siapa hatinya terpaut pada dunia maka dia akan tersangkut pada tiga hal: kesedihan yang tiada berakhir, angan-angan yang tak berujung, dan harapan yang tak kunjung datang.” Imam Ja`far Ash-Shadiq (Biharul Anwar 73:120)


> Apa batasan agar tidak cinta dunia ya ? Kalau bekerja sangat keras itu termasuk cinta dunia ?

Kalau bekerja justru kewajiban. Bekerja yang halal untuk membantu diri sendiri, keluarga dan orang-orang disekitar Anda.

> Jadi bagaimana ya caranya menjalani kehidupan ini agar kita tidak terjebak dengan cinta kepada dunia ?

Kunci sederhana untuk menjalani kehidupan yang terbebas dari cinta dunia ada 3 (tiga)

Pertama, tidak sombong, tidak pongah. Ingat kita adalah ciptaan Allah. Sesama manusia tidak boleh merendahkan manusia yang lain.

Kedua, jangan tamak. Selalu tidak puas dengan rezeki yang diberikan, selalu merasa kurang, kurang dan kurang.

Ketiga, jangan iri hati. Melihat teman atau orang lain meraih sukses kita merasa tidak senang. Atau tetangga membeli handphone baru, kita tidak mau kalah ikut-ikutan membeli handphone yang lebih baru lagi.


NILAI SANG WAKTU

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-’Ashr)



Selanjutnya - Nasihat Hidup